DESA SINDANGSARI

SEJARAH

1910 0

Menurut seorang tokoh terkemuka yakni Bapak Sualpi Suminta Atmaja almarhum, nama Sindangsari diambil dari dua kata yaitu “Sindang” berarti Istirahat “Sari” artinya Rasa Senang. Maksudnya “Pemukiman yang Menyenangkan”

Proses terbentuknya Desa Sindangsari secara singkat kurang lebih sebagai berikut :

1.

Cikal bakal perkampungan merupakan sebuah pedusunan di sekeliling “kubangan cileuncang”,terdiri dari 8 buah rumah yang dihuni oleh beberapa keluarga,terletak disebelah utara.

2.

Setelah Kubangan berubah menjadi daratan yang dapat dihuni orang,pedusunan dinamai “Dusun Kubangsari” dan kemudian dijadikan Pusat Pemerintahan Daerah Kademangan mencakup daerah Cikadu Kulon,Cipetir,Ilahar,Dukuh Picung,dan Wilanagara.”Kubang artinya Danau Kecil “Sari artinya Lumpur bawaan Cileuncang.

3.

Semenjak Kademangan ditiadakan,Pusat Pemerintahan dipindahkan ke Cikadu Kulon.Cikadu berasal dari kata “CIKALDU” artinya Air Lumpur Sungai.

4.

Selanjutnya Kampung Cikadu Kulon digabung ke Wilanagara.

5.

Akhirnya kampung Cikadu Kulon memisahkan diri dan namanya diganti menjadi desa SINDANGSARI.

 

Dahulu kala disebelah Barat Laut Sindangsari terdapat sebuah Kubangan penuh dengan ‘Cileuncang’.Warna air Kubangan tersebut merah-merah bata,karena air hujan yang menggenang di kubangan membawa Lumpur tanah merah. Alkisah di sekeliling kubangan terdapat 8 buah rumah yang dihuni oleh beberapa keluarga. Ditempat inilah yang boleh dianggap sebagai cikal bakal pedusunan. Lama kelamaan kubangan mongering karena dipenuhi Lumpur yang mengendap sedikit demi sedikit, dan berubah menjadi daratan. Setelah daratan dihuni oleh manusia,terbentuklah pedusunan yang kemudian hari dinamakan “Kubangsari” oleh Buyut Jakerti.

Sementara itu sungai Cibangka yang semula mengalir ke arah Utara,berubah arah ke sebelah Timur,mungkin karena daerah Kubangan posisinya jadi lebih Tinggi. Ketika aliran sungai terbelok,aliran air tertahan mengakibatkan Lumpur yang dibawa sungai banyak mengendap di sebelah selatan kubangsari, yang secara evolusi membentuk dartan dan dihuni oleh manusia hingga terjadilah  pekampungan yang dinamakan “Cikadu Kulon” oleh Demang Jakerti.

Buyut Jakerti diangkat demang oleh Pangeran Cirebon Girang yakni Pangeran WALANG SUNGSANG alias CAKRA BUANA untuk memerintah wilayah Cikadu kulon, Cipetir, Ilahar, Dukuh Picung dan Wilanagara. Kubangsari dijadikan tempat Domisili beliau dan sebagai Pusat Pemerintahan.

  • Kademanagan Kubangsari berlangsung selama lebih kurang 80 tahun, dalam 2 periode, yakni masa Pemerintahan DEMANG JAKERTI ( lk 40 th ) dan masa Pemerintahan DEMANG KERTI JAYA ( adik demang Jakerti, lk 40 th )
  • Setelah Kademangan Kubangsari ditiadakan maka Pusat Pemerintahan dipindahkan ke Kampung Cikadu kulon oleh Kuwu MASDIAN. Belian diperintahkan oleh Pangeran Cirebon Girang untuk meng – islamkan penduduk kubangsari. sejak itu kubangsari berstatus Dusun cantilan dari Cikadu kulon.
  • Pemerintahan Kampung Cikadu Kulon berlangsung selama lebih kurang 150 Tahun dalam 4 periode, yakni KUWU MASDIAN, KUWU KASDIAN, KUWU SAJONG, Terakhir KUWU SAJIMUN.
  • Selanjutnya Cikadu kulon digabung menjadi cantilan Wilanagara yang berlangsung selama 21 tahun dalam 3 periode, yakni KUWU SULADIMERTA alias KUWU SAPIAN, KUWU SASMITA ATMAJA alias KUWU RAKSADIMERTA, dan terakhir KUWU HANAP.
  • Akhirnya semenjak Tahun 1945 Cikadu Kulon memisahkan diri dari Wilanagara dan nama Cikadu Kulon diganti menjadi “SINDANGSARI” sedangkan Kubangsari cukup disebut DUSUN KUBANG.
  • Kuwu yang menjadi Kepala Desa Pertama adalah kuwu DJAIS SOEMINTADIREDJA, kemudian berturut-turut diganti oleh kuwu MOH.SOHJARI, kuwu DARUM al DJANA, kuwu UJER SUHARTONO,dan terakhir terhitung mulai tahun 2000 adalah kuwu TARJU al MUHTAR.

Di pinggir sungai sepanjang hulu sampai muara Sungai Cibangka yang mengalir disebelah selatan Desa Sindangsari terdapat Lima buah Makam kuno yang dianggap keramat dan angker oleh Penduduk Desa Sindangsari.

Menurut cerita orang-orang tua yang mengetahui kisah kejadiannya,bahwa makam-makam kuno itu adalah Pekuburan bagian-bagian tubuh Jenazah KIAI AKRAMUDIN yang dihianati oleh Demang Lebakwangi dan dibunuh secara keji oleh jagoan-jagoan suruhan Demang Lebakwangi.

Diterangkan dalam kisah itu,bahwa Kiai Akramudin adalah seorang Kiai Sakti berasal dari kerajaan Mataram. Beliau mendapat tugas dari Pangeran Cirebon Girang, yakni Pangeran Walang Sungsang alias Cakra Buana untuk mengawasi dan manjaga perbatasan Lebakwangi dan Luragung. Mengingat pada waktu itu penduduk Lebakwangi telah memeluk agama islam, sedangkan penduduk Luragung masih menganut Kepercayaan nenek moyang. Oleh karena itu Kiai Akramudin bermukim disuatu tempat di perbatasan Lebakwangi dan Luragung yang disebut warung Lame ( sekarang di sebut WARUNG LAME ).

Kisah tentang  Kiai Akramudin

Pada waktu itu Kiai Akramudn diminta bantuan oleh Demang Lebakwangi untuk menangkap dan membunuh seekor harimau yang serg mengganas menerkam penduduk dipinggir hutan Lebakwangi Tenggara.

Semula Kiai menolak permintaan itu karena dianggapnya menganiaya hewan tidak dibenarkan oleh prinsip agama Islam.namun karena desakan penduduk yang sudah panic ketakutan, Kiai pun berangkat mencari sang harimau.

Aneh sekali ketika harimau didekati kiai, tidak menampakan ganas melainkan jinak menurut saja dituntun oleh kiai sambil mengebas-ebaskan ekorya. karena menurut anggapan kiai harimau tidak ganas, maka sang harimau di lepaskan lagi ke dalam hutan. penduduk pun panik, kembali ketakutan, dan tidak berani keluar rumah. segera ki Demang meminta kembali kepada kiai agar harimau ditangkap kembali.

Kiai menyanggupi, namun kali ini mengajukan syarat agar daerah Dukuhrudin, Bojong dan Tarikolot diserahkan kepadanya. Semula persyaratan ini ditolak oleh ki Demang, namun akhirnya disetujui asalkan harimau segera ditangkap dan diserahkan kepadanya.

Setelah harimau tertangkap dengan serentak harimau dibunuh dengan beramai-ramai oleh penduduk. ketika kiai menagih janji, Demang mengianati dengan cara menyuruh beberapa orang jagoan untuk mencegat kiai diperjalanan dan membunuhnya.

Namun kiai sulit dibunuh karena kiai “tidak mempan golok”, bukan tubuh kiai yang luka tetapi golok yang patah-patah dan remuk. Akhirnya karena kiai merasa bosan disiksa maka eliau meminta agar dirinya dijala dan diseret-seret, barulah kiai menemui ajalnya.

Jenzahnya dipotong-potong menjadi beberapa bagian disebuah hulu sungai,

yang kelak dikemudian hari tempat itu dinamai “CACABAN” (di cacagan = dipotong-potong).

Potongan-potongan jenazah dihanyutkan ke sungai Cibangka ( air bangkai ) yang mengalir melalui daerah kubangan selatan dan berangsur-angsur di ketemukan oleh penduduk Kubangsari dan dimakamkan di beberapa tempat sesuai dengan saat diketemukan,yakni         :

  • Kepalanya dimakamkan di sebuah bukit yang kemudian diebut “Lamping Sudimampir” (Artinya: "mulai beristirahat”)
  • Tubuhnya yang terdiri dari bagian leher hingga lutut dimakam kan dipinggir sungai Cibangka di bawah pohon “kiara reunghas" yang kemudian disebut “ASTANA CENGGEH” ( Artinya : Cabang Dua ).
  • Tangannya beupa jari dimakamkan disebuah bukit landai,yang kemudian disebut “Lamping Jati Lima” ( Artiny : Jari Lima ).
  • Kakinya berupa betis dimakamkan disebuah bukit landai,yang kemudian disebut “Pasir Ipis” ( Artinya:Tempat megubur betis ).
  • Kitab Suci Al-Qur’an yang dibawa kiai terdampar di pesawahan yang kemudian disebut “SAWAH MULUD” ( sekarang berbentuk daratan ).

 

Tempat / Makam-makam tersebut dianggap “angker”dan“keramat”  oleh penduduk Sindangsari. Mereka percaya bahwa jika ada orang Lebakwangi bertapa di Astana Cenggeh,sungai cibangka akan banjir besar hingga makam itu terendam.

Didekat pekuburan Astana Cenggeh terdapat tiga buah makam bebanjar membujur dari utara ke selatan.Makam-makam ini adalah pekuburan tiga orang pejuang revolusi pada Agresi Belanda ke-2 yakni pada ahun 1947. Mereka ditembak mati di alun-alun oleh ’ID’ ketika tentara Belanda  akan menyerbu markas para Gerilyawan di Margasari.

Ketiga orang tersebut adalah :

  • Bapak SOJA SOEMINTADIPRAJA ( Ayah Penulis )
  • Bapak SOEALA ( sahabat ayah penulis )
  • Bapak SOEKARYA ( petugas kesehatan Ciawi )

 

Selain makam-makam tersebut, Disebelah barat daya Sindangsari yakni didekat pemakaman umum, terdapat segerombol makam yang disebut “ASTANA GEDE”  ( makam para pembesar ). menurut cerita, makam ini adalah pemakaman Demang Jakerti, Demang Kertijaya dan para leluhur lainnya.

 

Urutan Pejabat Kepala Desa

Sampai dengan Tahun 2023

 

No

N a m a

Masa Pemerintahan

Pusat Pemerintahan

1.

Demang Jakerti

1699 - 1738 ( 40 th )

Kubangsari

2.             

Demang Kertijaya

1738 - 1777 ( 40 th )

Kubangsari

3.             

Kuwu Masdian (dari Cirebon Girang)

1777 - 1816 ( 40 th )

Cikadu Kulon

4.             

Kuwu Kasdian

1816 - 1855 ( 40 th )

Cikadu Kulon

5.             

Kuwu Sajong

 1855 - 1857 ( 3 th )

Cikadu Kulon

6.             

Kuwu Sajimun al Candra Diraksa

1857 - 1924 ( 67 th )

Cikadu Kulon

7.             

Kuwu Suladimta al Kuwu Sadian

 1924 - 1930 ( 7 th )

Wilanagara

8.             

Kuwu Sasmita Atmaja al Raksadimerta al Kuwu Hanap

 1930-1945 ( 15 th )

Wilanagara

9.             

Kuwu Djais Soemintadiredja

 1945 - 1949 ( 5 th )

Sindangsari

10.             

Kuwu Moh.Sohari

1949 - 1966

Sindangsari

11.         

Kuwu D.Djana

1966 - 1979

Sindangsari

12.         

Kuwu Ujer Suhartono

1979 - 1999

Sindangsari

13.         

Kuwu Tarju al Muhtar

2000 - 2008

Sindangsari

14.         

Kuwu Tarjono Iyan Rusdiana

2008 - 2014

Sindangsari

15.         

Kuwu Juhriatna, S.AP

2015 - 2021

Sindangsari

         

Kuwu Juhriatna, S.AP

2021 - saat ini

Sindangsari

 

Tag : sejarah sindangsari profil desa
Bagikan:

0 Komentar

Statistik Pengunjung

Online 1
Hari ini 30
Kemarin 30
Bulan ini 60
Tahun ini 9183
Total 16134
PEMERINTAH DESA SINDANGSARI

Dusun I Rt.005 / Rw.001 Desa Sindangsari Kecamatan Luragung Kabupaten Kuningan

081320516835

[email protected]

Ikuti Kami

© Pemerintah Desa Sindangsari. All Rights Reserved. Powered by easydes.id

Design by HTML Codex

Hubungi kami